Pasar bebas adalah pasar ideal, di
mana adanya perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku bisnis dengan aturan
yang fair, transparan, konsekuen & objektif, memberi peluang yang optimal
bagi persaingan bebas yang sehat dalam pemerataan ekonomi.
Pasar bebas diadvokasikan oleh
pengusul ekonomi liberalisme. Salah satu ukuran kemajuan suatu bangsa dan
keberhasilan suatu pemerintahan di era pasar bebas adalah tingkat kemampuannya
untuk menguasai teknologi ekonomi(J.Gremillion).
Negara-negara yang terlibat dalam
gelombang pasar bebas, menurut Gremillion, mesti memahami bahwa pada era
sekarang ini sedang didominasi oleh sebuah rancangan pembangunan dunia yang
dikenal sebagai Marshall Plan yang menjadi batu sendi interpen-densi global
yang terus memintai dunia.
Teori – teori pasar bebas yang
berhubungan dengan etika bisnis:
1. Teori Adam Smith
Pengaturan oleh “tangan tak tampak”
(invisible hand) ini tidak lain ialah pengaturan melalui mekanisme bebas
permintaan dan penawaran atau mekanisme pasar bebas berdasar free private
enterprise, atau yang oleh Paul Samuelson, pemenang Nobel bidang Ekonomi (1970)
disebut “competitive private-property capitalism.” Para ekonom meyakini
keabsahan teori Adam Smith ini. Di Indonesia, topik pasar bebas dan persaingan
bebas sebagai bentuk pasar ideal terpampang resmi dalam silabus Pengantar Ilmu
Ekonomi sebagai academic blue-print dari konsorsium ilmu ekonomi. Topik ini merupakan
bagian dari kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa di Indonesia yang
menganut sistem Demokrasi Ekonomi.
2. Teori imajiner
Teori pasar dengan persaingan
sempurna dikembangkan secara fantastis. Distorsi pasar, baik tehnis,
kelembagaan, maupun sosio-kultural oleh text-book diasumsikan tidak ada; yang
dikatakan sebagai alasannya ialah for the sake of simplicity. Pengembangan
teori berjalan berdasar validitas teoritikal, yakni asumsi di atas asumsi dan
aksioma di atas aksioma. Padahal, paradigma seperti yang dikemukakan ekonom
Inggris, Joan Robinson (1903-1983), telah mengelabui kita dalam pengembangan
teori ekonomi. Teori yang ada dapat saja berkembang konvergen, tetapi juga bisa
semakin divergen terhadap realita. Para pengabdi ilmu—yang belum tentu pengabdi
masyarakat—dapat saja terjebak ke dalam divergensi ini. Banyak ekonom dan para
analis menjadi simplistis mempertahankan ilmu ekonomi Barat ini dengan
mengatakan bahwa kapitalisme telah terbukti menang, sedangkan sosialisme telah
kalah telak. Pandangan yang penuh mediokriti ini mengabaikan proses dan hakikat
perubahan yang terjadi, mencampuradukkan antara validitas teori, viability
sistem ekonomi, kepentingan dan ideologi (cita-cita), serta pragmatisme
berpikir.
Adam Smith kelewat yakin akan kekuatan
persaingan. Teori ekonominya (teori pasar berdasar hipotesis pasar bebas dan
persaingan sempurna), sempat mendikte umat manusia sejagat dalam abad ini untuk
terus bermimpi tentang kehadiran pasar sempurna. Lalu lahirlah berbagai
kebijakan ekonomi baik nasional maupun global berdasarkan pada teori pasar
bebas dan persaingan sempurna. Teori imajiner dari Adam Smith ini hingga kini
dianut sebagai pedoman moral demi menjamin kepentingan tersembunyi partikelir.
Contoh kasus
Salah satu kasus yang terjadi antar
anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia
melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami
kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel
mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen
terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk
itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang
tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan
yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika
industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk
kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard
used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia
kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9
mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran
untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT
Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November
2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel
dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah
Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan
Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta
diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004
gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta
Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses
pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap
pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan
tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea
telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk
kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek
dumping dari produk kertas Indonesia.
CONTOH KASUS :
Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas
kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang
ada di Taiwan.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk
beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi
manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam
Indomie adalah Methyl Parahydroxybenzoate dan Benzoic Acid (asam
benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat
kosmetik, dan pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian
Anggota DPR. Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie. Ketua BPOM
Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada
persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk
pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi
di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie
ini.
Referensi
www.wikepedia.com
www.google.com